Kebutuhan akan transportasi dewasa ini memang tidak
bisa dipungkuri mendekati menjadi kebutuhan primer. Dalam era yang serba
dituntut untuk mengefisienkan penggunaan waktu, alat transportasi lah yang
menjadi salah satu penunjang untuk mengefisiensikan waktu. Dengan alat
transportasi kita dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan
waktu yang relatif lebih cepat. Alat transportasi yang akan menjadi pembahasan
kita kali ini adalah mobil. Kepemilikan mobil bagi masyarakat Indonesia ini
adalah salah satu kebutuhan transportasi juga sebagai alat penunjang pengiriman
logistik karena memang dapat menampung barang lebih banyak dari alat transportasi
darat lainya dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Selain itu, kepemilikan
mobil di Indonesia ini juga menjadi patokan sosial seseorang. Biasanya orang
yang memiliki mobil itu adalah kalangan orang berduit karena memang harganya
yang cukup mahal.

Terdapat dua perusahaan produsen mobil yang telah
meluncurkan mobil LCGC, yaitu Daihatsu Ayla dengan harga termurah Rp
76.500.00 (type D M/T) dan Toyota Agya dengan harga termurah Rp 99.900.00 (type
E M/T). Baru-baru setelah program LCGC diluncurkan, kedua mobil ini
juga lauching ke pasaran. Dan sampai sekarang sudah ada sekitar 1000
pesanan (inden) terhadap mobil-mobil tersebut.
Perlu kita kaji tentang kebijakan pemerintah ini. Dari
kebijakan ini tercium beberapa kejanggalan dan efek-efek yang dapat timbul yang sekiranya akan merugikan bangsa. Memang harus ditinjau dan
dikaji ulang karena sesuai dengan amanah konstitusi bahwa setiap kebijakan
pemerintah harus independen tanpa tujuan untuk menguntungkan suatu pihak. Jangan
sampai pemerintah dalam mengeluarkan suatu kebijakan karena tekanan dari suatu pihak
atau atas kerja sama untuk menguntungkan suatu pihak.
Dengan program ini pemerintah juga terlihat tidak
konsisten. Inkonsistensi pemerintah terlihat ketika kita kaitkan program LCGC dengan program pemerintah sebelumnya yaitu mobil nasional. Kemarin pemerintah menggalakkan mobil nasional tetapi sekarang dengan program LCGC yang
mencuat adalah mobil produksi asing bukannya mobil nasioanl. Jelas mobil nasional akan terpuruk karena
akan tenggelam dengan kualitas serta harga yang ditawarkan oleh produsen asing.
Produsen pemegang pasar mobil di Indonesia ini yaitu Daihatsu dan Toyota dari
Jepang. Jikalau kami harus berburuk sangka bahwa program ini ada hubungannya
dengan Jepang yang memang selalu memberikan bantuan dan kerja sama kepada
Indonesia di bidang infrastruktur khususnya jalan. Seakan-akan program ini
memberikan peluang kepada produsen-produsen tersebut untuk meningkatkan keuntungan.
Ada beberapa pendapatan yang menyatakan bahwa LCGC bertujuan untuk meningkatkan industrialisasi di Indonesia. padahal tingkat
industrialisasi itu tidak ditandai dengan meningkatnya jumlah mobil. Lebih-lebih
LCGC ini sasaran utamanya adalah masyarakat menengah atas bukan kepada industri-industri.
Dari segi ekonomi, dengan harga yang murah dan diharapkan banyak yang membeli
maka peredaran uang di Indonesia akan meningkat akibat banyaknya
permintaan tersebut sehingga dapat menyebabkan inflasi. Selain itu, dengan
semakin banyaknya pemilik mobil pribadi akan membunuh secara perlahan pekerjaan
para supir kendaraan umum karena semakin sedikit penumpangnya. Dari situ juga
terlihat bahwa program ini kontradiksi dengan transportasi masal. Masyarakat akan
cenderung memilih menggunakan mobil pribadinya dari pada transportasi masal.
Mari kita pikir secara logika sederhana saja, dengan meningkatnya
pemilik mobil maka akan memperburuk masalah kemacetan yang terjadi. Artinya ketika pemerintah akan membenahi kemacetan tersebut maka harus
melakukan langkah yang lebih panjang dan lebar serta harus merogoh kantong yang
lebih dalam karena kuantitas penyebab kemacetannya bertambah. Peningkatan pemilik
mobil juga akan sebanding dengan peningkatan ketergantungan terhadap BBM.
Padahal sesuai dengan undang-udang pemerintah seharusnya terus mereduksi
ketergantungan masyarakat terhadap BBM dengan mengalihkan ke sumber energi
lain, lagi-lagi program LCGC ini tidak sinergis dengan program tersebut. Kita juga
bisa mempertanyakan lagi konsep green car
yang disyaratkan tersebut, bagaimana bisa disebut green car kalau tetap mengkonsumsi BBM dan bahkan cenderung
meningkatkan masyarakat untuk mengkonsumsi BBM. Belum lagi dengan
bertambahnya jumlah mobil juga akan menambah kepekatan polusi CO2 di
udara. Hal ini tidak sesuai dengan konvensi CO2 yang telah
disepakati.
Lalu sebenarnya apa tujuan dari program ini ? beberapa
pendapat juga menyatakan bahwa program ini melecehkan masyarakat khususnya
kalangan menengah Indonesia karena dianggap hanya baru bisa membeli mobil dengan
harga yang murah (low cost). Ada pula
yang menyebutkan bahwa tujuan dari LCGC ini adalah untuk meningkatkan
kepercayaan diri masyarakat karena dengan memiliki mobil mereka akan merasa
status sosial mereka terangkat. Jikalau memang begitu program ini secara
implisit menanamkan rasa gengsi kepada masyarakat, dengan begitu ganti saja
kata “green” pada program ini dengan kata “gengsi” menjadi “Low Cost Gengsi Car”. Ataukah benar ini hanyalah sebuah politik luar negeri belaka atau konspirasi yang sudah
tak pantas disebut konspirasi lagi karena begitu gamblangnya terlihat ?
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Pemerintahan
Indonesia yang sudah berusaha keras memeras keringat dan pikiran demi kemajuan
bangsa Indonesia dan masyarakat didalamnya. Saya menyampaikan pendapat saya
tentang program ini dan semoga dapat diambil pelajaran, bukan untuk
menjelek-jelekkan. Pengetahuan saya masih rendah masih butuh banyak guru dan
ilmu dalam mengkritisi suatu masalah. HIDUP INDONESIA !
M.Hibatur Rahman, Kantor Pusat Fakultas Teknik, UGM, 04 Oktober 2013