Dewasa ini tepatnya 2 minggu kemarin 1 Januari 2014
Pertamina mengeluarkan kebijakan kenaikan harga LPG 12 kg non-subsidi. Keputusan
kenaikan ini cukup menuai kontroversi. Alasan Pertamina melakukan penaikan
harga LPG berdasar pada rekomendasi BPK pada “Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja
Atas Implementasi Kebijakan Energi Nasional Sektor Gas dengan Area Kunci Pendistribusian
LPG Tahun 2011 dan 2012 Pada PT Pertamina (persero)” tertanggal 05 Februari
2013. Pada bab “Rekomendasi” point 5 disebutkan bahwa Pertamina
direkomendasikan untuk menaikkan harga LPG 12 kg non-subsidi untuk mengurangi
kerugian Pertamina. Dengan itulah akhirnya Pertamina mengeluarkan keputusan
menaikkan harga LPG sebesar Rp 3.500 per
kg.
Terlebih lagi belum ada sepekan muncul kompromi dari
pihak pemerintahan akan kenaikan tersebut. Kebijakan kompromi dilakukan antara
Presiden SBY yang diwakili Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri BUMN Dahlan
Iskan, Menteri ESDM Jero Wacik, direksi PT Pertamina (Persero), dan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), pada Senin 6 Januari 2014 (Hamzah, 2014).
Dan hasil dari kompromi tersebut secara resmi
Pertamina merevisi besaran kenaikan harga LPG 12 kg menjadi Rp 1000 per kg pada
hari selasa pukul 00.00 WIB (dini hari). Lagi-lagi keputusan ini menuai
kontroversi dibeberapa kalangan. Karena dengan adanya revisi kenaikan
mengakibatkan agen-agen LPG dapat mengalami kerugian. Agen yang telah menyetok
LPG yang mereka beli pada saat kenaikan LPG Rp 3500 per kg diharuskan menjual
dengan harga pada saat kenaikan Rp 1000 per kg. Sanksi tegas akan dilakukan
kepada agen yang menjual masig dengan harga kenaikan awal. Harga resmi dari
Pertamina yang dikeluarkan setelah revisi berkisar antara Rp.89.000,- hingga Rp
120.100,- (tergantung lokasi). Untuk menghindari
kerugian, di beberapa agen memang masih ada yang menjual di atas harga resmi
dengan alasan untuk menghabiskan stok lama terlebih dahulu.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah posisi
pemerintah dalam penentuan kebijakan kenaikan harga LPG 12 kg ini. Ada dua
perbedaan pendapat mengenai hal ini. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
melalui ketuanya yaitu Nawir Messi mengatakan bahwa Pertamina telah mengambil
peran pemerintah dalam penentuan harga LPG, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi
yang beliau sampaikan melalui surat elektronik yang diterima Gresnews.com. Menurut Nawir, tindakan
Pertamina ini tidak sesuai dengan pola persaingan dan penetapan harga elpiji
sebagaimana bauran bahan bakar minyak dan gas lainnya yang tunduk pada UU nomor
22 tahun 2011 tentang minyak dan gas bumi (UU migas) sebagaimana diubah dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 002/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004
yang menyatakan tidak mengikat pasal 28 UU migas ini (Ramidi, 2014).
Artinya bahwa
pasal 28 UU migas yang menyatakan “harga BBM/gas bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar” tidak dapat digunakan sebagai dalil
Pertamina untuk menaikkan harga LPG tanpa mendapat persetujuan Pemerintah. Namun,
halyang berbeda disampaikan oleh Jero Wacik yang menyatakan sebalikya di
Jakarta. Beliau mengatakan bahwa wewenang menaikkan harga LPG 12 kg ada di
tangan PT Pertamina. Sedangkan Pemerintah tidak memiliki wewenang didalamnya
karena produk LPG 12 kg merupakan produk non-subsidi. Sama halnya dengan BBM
Pertamax yang dapat dinaikkan kapan saja oleh perusahaan. Jero juga mengatakan,
keputusan lebih lanjut mengenai kenaikan harga gas elpiji 12 kg ini akan
dibahas pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina. Dari situ dapat kita
lihat bahwa posisi pemerintah bukanlah pemberi keputusan harga melainkan masukan
dari pemerintah dapat disebut sebagai rekomendasi. Jadi, apa posisi pemerintah ? kenapa tiba-tiba
pemerintah masuk dalam hal ini ? ada tercium bau unsur politis yang tajam pada
kasus LPG 12 kg ini. Mengingat tahun 2014 adalah tahun pemilu dimana citra
sangat diperlukan saat ini.
Kenaikan harga LPG 12 kg ini dapat menimbulkan
sebuah efek tentunya. Kepada siapa ? masyarakat lah pastinya. Kenaikan LPG 12
kg ini dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat kecil. Sebenarnya segmentasi
penjualan LPG 12 kg adalah kepada kalangan menengah keatas. Terbukti pada data
penjualan yang menunjukkan bahwa dari 100% penjualan LPG Pertamina tahun 2010
yang hanya 23% dan sebagian besar sisanya adalah LPG subsidi.
Ada sebuah kemungkinan juga dengan kenaikan ini akn
ada migrasi masyarakat yang tadinya menggunakan LPG 12 kg akan berganti
menggunaka LPG 3 kg. Hal ini dapat mengakibatkan permintaan LPG 3 kg yang
bersubsidi ini meningkat dan bias-bisa terjadi kelangkaan. Dan kelangkaan
inilah yang akhirnya dapat membuat rakyat sengsara karena masyarakat kecil lah
segmentasi pasar LPG 3 kg ini. Hal ini
pun juga harus menjadi sorotan bagi para pemangku kebijakan.
Menanggapi hal tersebut BEM KMFT mengadakan sebuah
kajian mengenai kasus LPG. Kajian yang difasilitasi oleh departemen Kajian
Strategis BEM KMFT dilaksanakan pada tanggal 11 Januari 2014 pukul 14.00 WIB sampai
dengan pukul 16.30 WIB di Kantor Pusat Fakultas Teknik, UGM.
Dari kajian tersebut, BEM KMFT telah mengambil
sebuah sikap untuk mengenai kasus LPG yang sedang panas ini. BEM KMFT mengambil
sikap setuju dengan kenaikan atau pro dengan kenaikan dengan alasan :
1.
Menyikapi kerugian
yang selama ini ditanggung Pertamina
Berdasarkan penghitungan
yang dilakukan BPK, selama dalam kurun sejak 2008 hingga saat ini Pertamina
telah mengalami kerugian sebesar Rp 22 triliun. Pada penjualan selama tahun
2011 sampai dengan 2012 Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp 7,73 triliun. Apabila
kenaikan tidak segera dilakukan kedepannya kerugian tersebut dikhawatirkan akan
semakin membesar dan dapat memperburuk keadaan. Menurut Milton Pakpahan, angka tersebut
didapat dari harga jual selama ini Rp 4.944 per kg, sementara harga
keekonomisannya adalah Rp 10.785 per kg (terdapat selisih Rp 5.841 per kg). Artinya apabila dinaikkan
Rp 3500 per kg pun Pertamina masih akan mengalami kerugian sebesar Rp 1981 per
kg (dalam wartajakarta.com , 2014).
2.
Untuk mengimbangi
dampak negatif di bidang ekonomi akibat meningkatnya nilai tukar dollar
terhadap rupiah.
Kurs dollar terhadap
rupiah yang telah naik tinggi hari ini apabila dibandingkan dengan tahun 2009
tahun terakhir harga LPG dinaikkan (Rp 100 per kg). Pada web BCA (http://www.bca.co.id)
tertanggal 13 Januari 2014 / 16:27 WIB
kurs dollar jual Rp 12.225,- dan beli Rp 11.925,- . Lalu apa hubungannya dengan
LPG ? perlu diketahui bahwa bahan baku LPG 56-60% itu diimpor dari luar negeri kata
VP Gas dan Gas Domestik Pertamina Gigih Wahyu Irianto ditemui di Kantor
Pertamina, Senin 6 Januari 2014 (dalam Dhany, 2014). Dari situ jelas sekali
bahwa kurs dollar akan sangat berpengaruh terhadap cost production sebuah LPG.
3.
Untuk memperkecil
range harga keekonomian LPG dengan harga LPG sebelum kenaikan
Seperti yang telah dijelaskan
diatas bahwa harga keekonomian LPG adalah Rp 10.785 per kg. harga tersebut
adalah harga jual minimal agar produsen tidak merugi dalam penjualan, dan misalpun
tercapai keuntungan belum didapat. Jika seandainya pada suatu saat nanti bangsa
ini harus dihadapkan dengan harga LPG yang harus naik lagi, dengan sudah
naiknya sekarang menjadi langkah awal dan mengurangi range harga dengan harga
keekonomiaannya. Jadi jika harus mencapai harga keekonomian itu range sudah
tidak terlalu jauh lagi. Disuatu saatnya nanti itu menaikkannya tidak terlalu
tinggi sehingga tidak terlalu mengkagetkan masyarakat.
Kami
setuju dengan kenaikan ini belum dapat menyebutkan kuantiatas harga mana yang
kami setujui karena kami belum dapat melakukan analisis kuantitatif yang
memerlukan waktu dan data serta metode yang cukup rumit agar didapat satuan
harga yang valid. Kami baru saja melakukan kajian dengan analisi kualitatif
yang dibantu dengan data-data baik kualitatif maupun kuantitatif. Dalam sikap kami ini, kami melampirkan beberapa
persyaratan kepada pemerintah maupun pihak Pertamina, yaitu
1.
Dengan adanya
kenaikan harga setidaknya Pertamina memiliki uang lebih yang dapat dialokasikan
ke sector lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat atau bangsa.
2.
Adanya kejelasan
mekanisme pengambilan keputusan penentuan harga produk-produk dari Pertamina.
3.
Kejelasan kriteria
sasaran LPG 3 kg bersubsidi.
4.
Peningkatan pengawasan
terhadap penjualan LPG 3 kg bersubsidi agar tepat sasaran sesuai dengan
kriteria yang telah ada.
Begitulah
hasil kajian yang kami lakukan. Segala kekurangan mungkin masih banyak ada pada
kami yang masih belajar ini. Terima kasih atas dukungan dari pihak-pihak yang
bersangkutan. Mari bergerak untuk bangsa dan negara kita, Indonesia.
“Lebih
baik kau bergerak salah, lalu dibenarkan dari pada kau terus terdiam menanti sebuah keniscayaan”
berikut kami lampirkan link, "Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Atas Implementasi
Kebijakan Energi Nasional Sektor Gas dengan Area Kunci Pendistribusian LPG Tahun
2011 dan 2012 Pada PT Pertamina (persero)" dari BPK
http://www.bpk.go.id/en/wp-content/uploads/2014/01/LHP-Kinerja-atas-Implementasi-Kebijakan-Energi-Nasional-sektor-gas-2011-2012-pada-PT-Pertamina-.pdf
Daftar
Pustaka
Dhany, Rista Rama. 2014. 60% Bahan Baku Elpiji Masih Impor. http://finance.detik.com/read/2014/01/06/171949/2459634/1034/60-bahan-baku-elpiji-masih-impor.
Diunduh pada 14 Januari 2014.
Hamzah, Zaky Al. 2014. Opera Sabun' Kenaikan LPG 12 Kg. http://www.republika.co.id/berita/
koran/news-update/14/01/09/mz4y1l-opera-sabun-kenaikan-lpg-12-kg. diunduh pada
14 Januari 2014.
Ramidi. 2014. KPPU : Pertamina Tidak Punya Kewenangan Menaikkan Harga Elpiji”. http://www.gresnews.com/berita/politik/92661-kppu-pertamina-tidak-punya-kewenangan-menaikan-harga-elpiji.
Diunduh pada 14 Januari 2014.
Warta Jakarta. 2014. Milton Pakpahan: Penyesuain Harga LPG 12 KG
oleh Pertamina Sudah Tepat. http://www.wartajakarta.com/kategori/berita-4369-milton-pakpahan-penyesuain-harga-lpg-12-kg-oleh-pertamina-sudah-tepat.html.
diudnuh pada 14 Januari 2014.