Sabtu, 10 Oktober 2015

Rahasia Sepertiga Malamku dan Tuhanku

Aku berserah diri pada rindu
Dalam senandung malam yg syahdu
Di bawah titik-titik cahaya purba yg beradu
Diantara ramainya sepi ditelingaku
Sendiri begitu ramai dipikirku
Mengganggu sunyinya syukurku
Penuh keluh aku beradu
Tundukku pada sang rindu
Aku berteriak, aku merindukanmu
Agar rumput tahu
Agar angin tahu
Agar kau pun tahu
Ini bukan sekedar cinta yg semu
Bukan cinta berdasar hawa nafsu
Bukan cinta dg komitmen lesu
Bukan cinta dalam sebatas ucapan I love you
Namun, untuk apa aku mengungkap isi kalbu
Aku tahan untuk beberapa waktu
Tak ku ucap sehingga aku membisu
Agar tetap menjadi rahasia sepertiga malamku, dan Tuhanku
Tenang saja, aku sebut namamu dalam doaku
Aku merindumu setiap antara sujud-sujudku
Meski aku belum mengetahui siapa namamu
Meski aku belum mengetahui siapa dirimu

Jarak

Aku sedang berkecamuk dengan nafsu 
Sembari turun ke jalan dan bercumbu
Dengan segala ilmu tentang kamu
Aku pun berkesimpulan rindu dan mulai sendu
Kau adalah sekumpulan iya
Iya kau berada jauh dimataku
Tapi pula iya kau dekat dihatiku
Iya, iya… akan kutegaskan iya
Kau adalah sekumpulan tidak
Tidak kau menemaniku
Tapi pula tidak kau meninggalkanku
Tidak, tidak… akan kutegaskan tidak
Kau adalah sekumpulan kejelasan
Jelas kau dalam zona khianat yang nyaman
Tapi pula jelas kau hadirkan kepercayaan
Jelas, jelas… akan kutegaskan ini sebuah kejelasan
Kau dan aku, menjadi kita
Yang dipertegas oleh jarak antara kita
Karena rasa bukan hanya sebatas pertemuan
Namun pula tentang kepercayaan

Rabu, 06 Mei 2015

aku tetaplah menjadi aku

Yogyakarta dingin dan petang...
datang hampir setiap masa menjelang saatnya
menghembus lembut mencabut nyawa rasa tenang
menjadi sebab atas musabab kerinduan purna

rindu ? termusabab rindu kah suasana ?
ataukah hanya sembari durja menyapa
dianatara panas, dingin dan hujan bumi angkasa
disaat krisis etika hubungan antar manusia

akulah sang batu bara tua
merindu akan ikatan terhadap karbon padamu saja
disaat eksistensiku mulai tiada
dihadapanmu yang mulai menggasifikasikan raga

akulah sang teodolit tua
menerka sudut dan tinggi hidupmu dari kejauhan bumi
dari titik referensi yang aku pijak sendiri
agarku tahu seberapa bumi membatasi kita

pada akhirnya aku tetaplah menjadi aku
tiada kata kita tercipta
hanya besisa pengalaman dan pengalaman
pencapaian cita dan cinta serta doa yang telah tercipta saja







kupatahkan leherku pagi ini

kupatahkah leherku pagi ini
bersamaan dg turunnya rahmat dari langit
kupatahkan leherku pagi ini
untuk sekadar lari dari pertikaian nurani yang sengit

kupatahkan leherku pagi ini
tapi tiada aku berniat mati
aku hanya ingin lari
dari, dari, dari konstelasi pemikiran kemarin hari

kupatahkan leherku pagi ini
bukan untuk relaksasi
bukan untuk memanja diri
hanya untuk meramu formulasi masa kini

kupatahkan leherku pagi ini
agar terputus dari urat nadi
yang masih mengalirkan darah-dara basi
sehingga masih, masih, masih mudah menengok kehadapmu lagi

kupatahkan leherku pagi ini
ternyata tidak patah
hanya berdarah-darah
hanya membias bayang kembali