Rabu, 06 Mei 2015

aku tetaplah menjadi aku

Yogyakarta dingin dan petang...
datang hampir setiap masa menjelang saatnya
menghembus lembut mencabut nyawa rasa tenang
menjadi sebab atas musabab kerinduan purna

rindu ? termusabab rindu kah suasana ?
ataukah hanya sembari durja menyapa
dianatara panas, dingin dan hujan bumi angkasa
disaat krisis etika hubungan antar manusia

akulah sang batu bara tua
merindu akan ikatan terhadap karbon padamu saja
disaat eksistensiku mulai tiada
dihadapanmu yang mulai menggasifikasikan raga

akulah sang teodolit tua
menerka sudut dan tinggi hidupmu dari kejauhan bumi
dari titik referensi yang aku pijak sendiri
agarku tahu seberapa bumi membatasi kita

pada akhirnya aku tetaplah menjadi aku
tiada kata kita tercipta
hanya besisa pengalaman dan pengalaman
pencapaian cita dan cinta serta doa yang telah tercipta saja







kupatahkan leherku pagi ini

kupatahkah leherku pagi ini
bersamaan dg turunnya rahmat dari langit
kupatahkan leherku pagi ini
untuk sekadar lari dari pertikaian nurani yang sengit

kupatahkan leherku pagi ini
tapi tiada aku berniat mati
aku hanya ingin lari
dari, dari, dari konstelasi pemikiran kemarin hari

kupatahkan leherku pagi ini
bukan untuk relaksasi
bukan untuk memanja diri
hanya untuk meramu formulasi masa kini

kupatahkan leherku pagi ini
agar terputus dari urat nadi
yang masih mengalirkan darah-dara basi
sehingga masih, masih, masih mudah menengok kehadapmu lagi

kupatahkan leherku pagi ini
ternyata tidak patah
hanya berdarah-darah
hanya membias bayang kembali