Senin, 13 Januari 2014

LPG (Loh Pemerintah Galau ?)


Dewasa ini tepatnya 2 minggu kemarin 1 Januari 2014 Pertamina mengeluarkan kebijakan kenaikan harga LPG 12 kg non-subsidi. Keputusan kenaikan ini cukup menuai kontroversi. Alasan Pertamina melakukan penaikan harga LPG berdasar pada rekomendasi BPK pada “Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Atas Implementasi Kebijakan Energi Nasional Sektor Gas dengan Area Kunci Pendistribusian LPG Tahun 2011 dan 2012 Pada PT Pertamina (persero)” tertanggal 05 Februari 2013. Pada bab “Rekomendasi” point 5 disebutkan bahwa Pertamina direkomendasikan untuk menaikkan harga LPG 12 kg non-subsidi untuk mengurangi kerugian Pertamina. Dengan itulah akhirnya Pertamina mengeluarkan keputusan menaikkan harga LPG sebesar Rp  3.500 per kg.
Terlebih lagi belum ada sepekan muncul kompromi dari pihak pemerintahan akan kenaikan tersebut. Kebijakan kompromi dilakukan antara Presiden SBY yang diwakili Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Menteri ESDM Jero Wacik, direksi PT Pertamina (Persero), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada Senin 6 Januari 2014 (Hamzah, 2014).
Dan hasil dari kompromi tersebut secara resmi Pertamina merevisi besaran kenaikan harga LPG 12 kg menjadi Rp 1000 per kg pada hari selasa pukul 00.00 WIB (dini hari). Lagi-lagi keputusan ini menuai kontroversi dibeberapa kalangan. Karena dengan adanya revisi kenaikan mengakibatkan agen-agen LPG dapat mengalami kerugian. Agen yang telah menyetok LPG yang mereka beli pada saat kenaikan LPG Rp 3500 per kg diharuskan menjual dengan harga pada saat kenaikan Rp 1000 per kg. Sanksi tegas akan dilakukan kepada agen yang menjual masig dengan harga kenaikan awal. Harga resmi dari Pertamina yang dikeluarkan setelah revisi berkisar antara Rp.89.000,- hingga Rp 120.100,-  (tergantung lokasi). Untuk menghindari kerugian, di beberapa agen memang masih ada yang menjual di atas harga resmi dengan alasan untuk menghabiskan stok lama terlebih dahulu.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah posisi pemerintah dalam penentuan kebijakan kenaikan harga LPG 12 kg ini. Ada dua perbedaan pendapat mengenai hal ini. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melalui ketuanya yaitu Nawir Messi mengatakan bahwa Pertamina telah mengambil peran pemerintah dalam penentuan harga LPG, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi yang beliau sampaikan melalui surat elektronik yang diterima Gresnews.com. Menurut Nawir, tindakan Pertamina ini tidak sesuai dengan pola persaingan dan penetapan harga elpiji sebagaimana bauran bahan bakar minyak dan gas lainnya yang tunduk pada UU nomor 22 tahun 2011 tentang minyak dan gas bumi (UU migas) sebagaimana diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 002/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004 yang menyatakan tidak mengikat pasal 28 UU migas ini (Ramidi, 2014).
 Artinya bahwa pasal 28 UU migas yang menyatakan “harga BBM/gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar” tidak dapat digunakan sebagai dalil Pertamina untuk menaikkan harga LPG tanpa mendapat persetujuan Pemerintah. Namun, halyang berbeda disampaikan oleh Jero Wacik yang menyatakan sebalikya di Jakarta. Beliau mengatakan bahwa wewenang menaikkan harga LPG 12 kg ada di tangan PT Pertamina. Sedangkan Pemerintah tidak memiliki wewenang didalamnya karena produk LPG 12 kg merupakan produk non-subsidi. Sama halnya dengan BBM Pertamax yang dapat dinaikkan kapan saja oleh perusahaan. Jero juga mengatakan, keputusan lebih lanjut mengenai kenaikan harga gas elpiji 12 kg ini akan dibahas pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina. Dari situ dapat kita lihat bahwa posisi pemerintah bukanlah pemberi keputusan harga melainkan masukan dari pemerintah dapat disebut sebagai rekomendasi. Jadi, apa posisi pemerintah ? kenapa tiba-tiba pemerintah masuk dalam hal ini ? ada tercium bau unsur politis yang tajam pada kasus LPG 12 kg ini. Mengingat tahun 2014 adalah tahun pemilu dimana citra sangat diperlukan saat ini.
Kenaikan harga LPG 12 kg ini dapat menimbulkan sebuah efek tentunya. Kepada siapa ? masyarakat lah pastinya. Kenaikan LPG 12 kg ini dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat kecil. Sebenarnya segmentasi penjualan LPG 12 kg adalah kepada kalangan menengah keatas. Terbukti pada data penjualan yang menunjukkan bahwa dari 100% penjualan LPG Pertamina tahun 2010 yang hanya 23% dan sebagian besar sisanya adalah LPG subsidi.
Ada sebuah kemungkinan juga dengan kenaikan ini akn ada migrasi masyarakat yang tadinya menggunakan LPG 12 kg akan berganti menggunaka LPG 3 kg. Hal ini dapat mengakibatkan permintaan LPG 3 kg yang bersubsidi ini meningkat dan bias-bisa terjadi kelangkaan. Dan kelangkaan inilah yang akhirnya dapat membuat rakyat sengsara karena masyarakat kecil lah segmentasi pasar LPG 3 kg ini.  Hal ini pun juga harus menjadi sorotan bagi para pemangku kebijakan.
Menanggapi hal tersebut BEM KMFT mengadakan sebuah kajian mengenai kasus LPG. Kajian yang difasilitasi oleh departemen Kajian Strategis BEM KMFT dilaksanakan pada tanggal 11 Januari 2014 pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 16.30 WIB di Kantor Pusat Fakultas Teknik, UGM.
Dari kajian tersebut, BEM KMFT telah mengambil sebuah sikap untuk mengenai kasus LPG yang sedang panas ini. BEM KMFT mengambil sikap setuju dengan kenaikan atau pro dengan kenaikan dengan alasan :
1.      Menyikapi kerugian yang selama ini ditanggung Pertamina
Berdasarkan penghitungan yang dilakukan BPK, selama dalam kurun sejak 2008 hingga saat ini Pertamina telah mengalami kerugian sebesar Rp 22 triliun. Pada penjualan selama tahun 2011 sampai dengan 2012 Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp 7,73 triliun. Apabila kenaikan tidak segera dilakukan kedepannya kerugian tersebut dikhawatirkan akan semakin membesar dan dapat memperburuk keadaan. Menurut Milton Pakpahan, angka tersebut didapat dari harga jual selama ini Rp 4.944 per kg, sementara harga keekonomisannya adalah Rp 10.785 per kg (terdapat selisih  Rp 5.841 per kg). Artinya apabila dinaikkan Rp 3500 per kg pun Pertamina masih akan mengalami kerugian sebesar Rp 1981 per kg (dalam wartajakarta.com , 2014).
2.      Untuk mengimbangi dampak negatif di bidang ekonomi akibat meningkatnya nilai tukar dollar terhadap rupiah.
Kurs dollar terhadap rupiah yang telah naik tinggi hari ini apabila dibandingkan dengan tahun 2009 tahun terakhir harga LPG dinaikkan (Rp 100 per kg). Pada web BCA (http://www.bca.co.id)  tertanggal 13 Januari 2014 / 16:27 WIB kurs dollar jual Rp 12.225,- dan beli Rp 11.925,- . Lalu apa hubungannya dengan LPG ? perlu diketahui bahwa bahan baku LPG 56-60% itu diimpor dari luar negeri kata VP Gas dan Gas Domestik Pertamina Gigih Wahyu Irianto ditemui di Kantor Pertamina, Senin 6 Januari 2014 (dalam Dhany, 2014). Dari situ jelas sekali bahwa kurs dollar akan sangat berpengaruh terhadap cost production sebuah LPG.
3.      Untuk memperkecil range harga keekonomian LPG dengan harga LPG sebelum kenaikan
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa harga keekonomian LPG adalah Rp 10.785 per kg. harga tersebut adalah harga jual minimal agar produsen tidak merugi dalam penjualan, dan misalpun tercapai keuntungan belum didapat. Jika seandainya pada suatu saat nanti bangsa ini harus dihadapkan dengan harga LPG yang harus naik lagi, dengan sudah naiknya sekarang menjadi langkah awal dan mengurangi range harga dengan harga keekonomiaannya. Jadi jika harus mencapai harga keekonomian itu range sudah tidak terlalu jauh lagi. Disuatu saatnya nanti itu menaikkannya tidak terlalu tinggi sehingga tidak terlalu mengkagetkan masyarakat.
Kami setuju dengan kenaikan ini belum dapat menyebutkan kuantiatas harga mana yang kami setujui karena kami belum dapat melakukan analisis kuantitatif yang memerlukan waktu dan data serta metode yang cukup rumit agar didapat satuan harga yang valid. Kami baru saja melakukan kajian dengan analisi kualitatif yang dibantu dengan data-data baik kualitatif maupun kuantitatif. Dalam  sikap kami ini, kami melampirkan beberapa persyaratan kepada pemerintah maupun pihak Pertamina, yaitu
1.      Dengan adanya kenaikan harga setidaknya Pertamina memiliki uang lebih yang dapat dialokasikan ke sector lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat atau bangsa.
2.      Adanya kejelasan mekanisme pengambilan keputusan penentuan harga produk-produk dari Pertamina.
3.      Kejelasan kriteria sasaran LPG 3 kg bersubsidi.
4.      Peningkatan pengawasan terhadap penjualan LPG 3 kg bersubsidi agar tepat sasaran sesuai dengan kriteria yang telah ada.
Begitulah hasil kajian yang kami lakukan. Segala kekurangan mungkin masih banyak ada pada kami yang masih belajar ini. Terima kasih atas dukungan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Mari bergerak untuk bangsa dan negara kita, Indonesia.
“Lebih baik kau bergerak salah, lalu dibenarkan dari pada kau terus terdiam  menanti sebuah keniscayaan”


berikut kami lampirkan link, "Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Atas Implementasi Kebijakan Energi Nasional Sektor Gas dengan Area Kunci Pendistribusian LPG Tahun 2011 dan 2012 Pada PT Pertamina (persero)" dari BPK
http://www.bpk.go.id/en/wp-content/uploads/2014/01/LHP-Kinerja-atas-Implementasi-Kebijakan-Energi-Nasional-sektor-gas-2011-2012-pada-PT-Pertamina-.pdf



Daftar Pustaka
Dhany, Rista Rama. 2014. 60% Bahan Baku Elpiji Masih Impor. http://finance.detik.com/read/2014/01/06/171949/2459634/1034/60-bahan-baku-elpiji-masih-impor. Diunduh pada 14 Januari 2014.
Hamzah, Zaky Al. 2014. Opera Sabun' Kenaikan LPG 12 Kg. http://www.republika.co.id/berita/ koran/news-update/14/01/09/mz4y1l-opera-sabun-kenaikan-lpg-12-kg. diunduh pada 14 Januari 2014.
Ramidi. 2014. KPPU : Pertamina Tidak Punya Kewenangan Menaikkan Harga Elpiji”. http://www.gresnews.com/berita/politik/92661-kppu-pertamina-tidak-punya-kewenangan-menaikan-harga-elpiji. Diunduh pada 14 Januari 2014.
Warta Jakarta. 2014. Milton Pakpahan: Penyesuain Harga LPG 12 KG oleh Pertamina Sudah Tepat. http://www.wartajakarta.com/kategori/berita-4369-milton-pakpahan-penyesuain-harga-lpg-12-kg-oleh-pertamina-sudah-tepat.html. diudnuh pada 14 Januari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar